Bahasa   "alay" atau bahasa gaul di Indonesia ternyata tidak hanya berlangsung   pada zaman sekarang saja, bahkan telah ditemukan sejak tahun 1835  silam.  Hal tersebut dikemukakan SST. Wisnu Sasongko, pakar bahasa dari  Badan  Pengembangan dan Pembinaan Bahasa RI, pada acara pemantauan dan   sosialisasi penggunaan bahasa di ruang publik, yang digelar di hotel   Rahmat Gorontalo, Rabu.
 Menurut   dia, bahasa alay ditemukan pada naskah bertuliskan huruf Jawa kuno,   yang berjudul "Angling Dharma". Dalam naskah itu, kata ratu ditulis   dengan menggunakan kata "Ro" sebanyak tujuh kali sehingga terbaca   sebagai ratu. Padahal jika merujuk pada tata bahasa jawa kuno,   semestinya kata ratu ditulis dengan menggunakan "Ro", "To" dan "Wulu".
 "Kalau   hanya ditulis dengan Ro sebanyak tujuh kali, maka artinya menjadi  tujuh  atau pitu sehingga terbaca `R` dan `Tu`," jelasnya. Untuk itu,   menurutnya, bahasa alay senantiasa ada setiap zaman, namun hal itu tidak   perlu dikhawatirkan dapat merusak tatanan bahasa Indonesia.
 "Sifatnya   hanya sementara, tidak akan bertahan lama," kata dia. Acara pemantauan   dan sosialisasi penggunaan bahasa di ruang publik, diikuti oleh   wartawan, penyiar radio, serta staf humas sejumlah instansi pemerintahan   di Gorontalo.
 Dalam   kesempatan itu, Badan Bahasa juga menyosialisasikan undang-undang RI   nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta   Lagu Kebangsaan.
 

 
 
 
